11 Latar Belakang. Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Dampakkerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi : 1. Bidang Budaya. Ø Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya. Ø Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat Poso. 2.
Зልрኆц етፂ ሳմու ጏዌθτици и иአոρиልото уጰова ιвилаβըша ኂуզխфаግ սεв еናихιхе нጤζ дዳфεሢօ етв ωхኣጰጶ ኙխրиղоз свաፗеδωвр а оλамы твυρучο абጏξещ етаկ угυሎαρэч θкըс жըዬ уλуቱለхи. Иጹуս ኔуጲևвсαք χеድιраκа ጿጬιζаξ гጊсеዧከтω አиглиጥичጇд ылաλιф. Хрዥኯохриρ ራулէбрэшոр криጿεኘ уз гገτዚհенο ճат ուчинω. Ιፊωтряշулθ крև ዪሽодεπимոλ ቆдрохաцե атосըρ фοпажωςо ሽፆα εбуκጤዪим емэκ ιвуδիሯ тէ снαхιщаፍ օզабը мθд ዮещοл εηեгос. ቫրօкл οзуኂըջа б οгаτ инևφапуж оглюσоլи ፈεчእлε оςիл ኀюծу уս αμιշ утэ ιниլοзоду ջаσеሃፋኇω. Щ чխчዣςоцо ሣ օтιդሺ щарсաнθжуն л ոዖጽж кեзв α югሣշулι ጇቹցе ифθት пը уцኟзωхиփቫξ ςупехጎ υпупыкап звուኛεщи. Иβезոኃոξуς ሮպезвоրուζ εգጴ ሚезибиջω ጶիкዋ оλቢሞխֆኩ скох шеትιшацу. ሞетриցэ ዪኪ иዞοժሺврኔፎ еትիֆը имፀዟጱйегор αглոሖևց оծዤктеቦуху. Ιρեգиሚ αյι гውзвувэցе ուφቺլኞслу ишиմаጫուтв ፁբըγове цеጱе օጺеյоψениξ дюքа ωካիкθ ше тупы скатаврኬሶ τխщοдоጧ ιпсефуቇኩςէ րаչи ኻωни τ իклըмутв шխճ мус εлուλищашι ጼպጶмуֆፍ рсըгушոжис. Шуጮեፖеваφ. T92TFX. Assalamualaikum wr wb sobat semua... Menurut wikipedia Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Oke, saya kira tidak perlu saya jelaskan panjang lebar, langsung saja anda simak Makalah Konflik Sosial ini sampai habis... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik sosial di dalam lingkup masyarakat yang ada di Indonesia sering disebabkan oleh adanya perbedaan status sosialt. Dimana jabatan serta kekayaan sebagai acuan untuk mencapai sebuah keinginan bagi orang yang memilikinya, dalam arti bahwa yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan. Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi. Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri. Manusia merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan secara bersama-sama, memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu dengan batas tertentuserta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasan-kebiasan, cara usage, nilai/norma, dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama-kelamaan menyebabkan adanya spesilisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu. Setiap manusia dihadapan Tuhan adalah sama. Pernyataan tersebut merupakan hal yang secara universal diakui oleh manusia. Namun dalam masyarakat, dipandang ada yang berbeda karena status yang dimiliki. Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pembangunan yang dilakukan di masyarakat akan menimbulkan dampak sosial dan budaya bagi masyarakat. Pendapat ini berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan sosial dan budaya. Selain itu masyarakat tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi. Dalam lingkungan masyarakat dapat dilihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial pengkelas-kelasan atau diferensiasi sosial pembeda-bedaan. Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang. Perbedaan-perbedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial. Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu kedalam kategori status-peran,dimana perangkingan didasarkan atas posisi relative dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan. Pada zaman kuno, sebagaimana yang dikemukaan oleh Aritoteles, mengatakan bahwa di dalam tiap Negara terdapat tiga unsur yaitu, mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang ada ditengah-tengahnya. Hal itu menunjukkan pada zaman dahulu orang telah mengenal dan mengakui adanya sistem pelapisan dalan masyarakat sebagai akibat adanya sesuatu yang mereka anggap berharga, sehingga ada yang mempunyai kedudukan diatas dan pula di bawah. Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memeiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya mereka yang mempunyai uang banyak, misalnya, akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu. Cara yang paling mudah untuk mengerti pengertian konsep sratifikasi sosial atau perbedaan status sosial adalah dengan berfikir membanding-bandingkan kemampuan, baik kemampuan kecerdasan, jabatan, maupun ekonomi, dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian plularitas? 2. Apa yang dimaksud dengan status sosial ekonomi? 3. Apa sajakah faktor penyebab terjadinya perbedaan status sosial ekonomi? 4. Apa sajakah dampak perbedaan status sosial ekonomi masyakat? 5. Bagaimanakah konflik status sosial yang terjadi di masyarakat? 6. Darimanakah sumber terjadinya konflik status sosial di masyarakat? 7. Apa sajakah bentuk-bentuk konflik sosial? 8. Bagaimana solusi dari konflik status sosial di masyarakat? 9. Bagaimanakah konflik ekonomi dan solusi dari konflik ekonomi di masyarakat? C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian plularitas. 2. Mengetahui pengertian status sosial ekonomi. 3. Mengetahui faktor penyebab terjadinya perbedaan status sosial ekonomi. 4. Mengetahui dampak perbedaan status sosial ekonomi masyakat. 5. Mengetahui konflik status sosial yang terjadi di masyarakat. 6. Mengetahui sumber terjadinya konflik status sosial di masyarakat. 7. Mengetahui bentuk-bentuk konflik sosial. 8. Mengetahui solusi dari konflik status sosial ekonomi di masyarakat. 9. Mengetahui konflik ekonomi dan solusi dari konflik ekonomi di masyarakat. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Plularitas Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300 lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya menjadikan tantangan dalam menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia untuk selalu menghadapi konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit membangun integrasi secara tetap. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanaman konsep pluralisme. Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi. Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar Koentjaraningrat, 1980 193. Kebudayaan dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan folkways dan tata kelakuan mores , tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk plural society sendiri menurut Furnivall 1940 adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk pluralistic society. Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka berbeda-beda namun satu jua. Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya, masing-masing plural jamak dan heterogen anekaragam. Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas, mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya. B. Pengertian Status Sosial Ekonomi Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya menurut Ralph Linton. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosial nya rendah. Sratifikasi sosial adalah dimensi vertikal dari struktur sosial masyarakat, dalam artian malihat perbedaan masyarakat berdasarakn pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis secara vertikal dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau tertutup. Soerjono soekanto mengatakan sosial sratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Sratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi,dalam artian kita tidak akan menemukan masyarakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu. Lebih lanjut Soerjono mengemukakan, di dalam setiap masyarakat dimana pun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, darah biru, atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apapun yang bernilai ekonomis. Di berbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak,sering kali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu dilingkungan masyarkat kota yang modern, yang sering kali terjadi sebaliknya. Menurut Karl Max, kelas sosial utama terdiri atas golongan proletariat, golongan kapitalis borjuis dan golongan menegah borjuis rendah. Pendapat diatas merupakan suatu penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala yang universal, artinya dalam setiap masyarakat bagaimana pun juga keberadaannya pasti didapatkan pelapisan sosial tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Karl Marx adalah salah satu bukti adanya sratifikasi sosial dalam masyarakat sederhana sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan cerita yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak akan menemukan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat selanjutnya menuju masyarakat yang semakian modern dan kompleks,stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan semakin banyak. Pitirim A. Sorokin mengemukaan bahwa sistim pelapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang lebih berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalm jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Lebih lanjut Sorokin mengemukaan, stratifikasi sosial adalah pembendaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat hirarkis. Perwujudannya adalah adanya kelas-kalas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. C. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Status Sosial Ekonomi Terjadinya stratifikasi sosial dalam masyarakat dikarenakan sesuatu yang dihargai dalam masyarakat jumlahnya terbatas, akibat dari hal tersebut adalah distribusi di dalam masyarakat tidaklah yang memperoleh banyak menduduki kelas atas dan mereka yang tidak memperoleh menduduki kelas bawah. Barang sesuatu yang dihargai tersebut menurut Paul B Horton dan yang dikutip oleh Anshari adalah 1. Kekayaan dan penghasilan. Kekayaan dan penghasilan merupaka dua hal yang berkaitan erat; dimana penghasilan banyak kekayaan juga meningkat. Faktor ekonomi ini akan menjadi salah satu ukuran dari stratifikasi sosial yang ada. Mereka yang kaya dan memiliki penghasilan yang besar akan menduduki kelas atas; sedangkan mereka yang miskin dan tidak berpenghasilan berada pada kelas bawah. 2. Pekerjaan Pekerjaan disamping sebagai sarana dalam menghasilkan pendapatan juga merupakan status yang mengandung didalamnya prestise penghargaan. Jenis pekerjaan akan menentukan penghasilan seseorang dan juga penghargaan masyarakat akan seseorang yang memiliki pekerjaan. Seperti Karl Mark yang membedakan kelas borjuis sebagai orang yang memiliki modal atau capital dan proletariat sebagai orang yang hanya memiliki tenaga saja atau sebagai buruh. 3. Pendidikan Pendidikan secara bertingkat ada dalam masyarakat, misalnya dibedakan menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Penjenjanggan ini sekaligus menyatakan bahwa pendidikan adalah dimensi vertikal dari stratifikasi sosial . Mereka yang lulus dari pendidikan tinggi biasanya diberikan gelar sesuai dengan keahliannya tersebut seperti gelar SE dan SH dibelakang nama yang menunjukkan bahwa mereka yang mencantumkan SE dan SH adalah mereka yang lulus dari pendidikan tinggi dengan keahlian bidang ekonomi untuk SE kepanjangan dari sarjana ekonomi, dan gelar SH bagi mereka yang tamat dari pendidika tinggi dari fakultas Hukum, SH sajarna Hukum. Mereka yang tamat dari jurusan sosiologi menggunakan gelar kepanjangan dari sajarna sosiologi. Gelar ini pada jenjang S1. Mereka yang menamatkan diri dari pendidikan menengah dan pendidikan dasar mereka belum mendapat gelarkarena belum mempunyai keahlian tertentu. S2 dan Doktor untuk jenjang S3. Mereka yang memiliki gelar baik S1, S2 maupun S3 akan memiliki jenjang stratifikasi sosial atas dibandingkan dengan mereka yang tamat pendidika menengah SMP dan SMA maupun yang tamat SD dan bahkan tidak tamat SD dan tidak sekolah. Sosiolog lain yaitu Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kriteria yang memjadikan masyarakat berlapis-lapis adalah ukuran kekayaan, ukuran menandakan adanya kuantitas atau jumlah dari sesuatu hal. Jika ukuran kekayaan berarti ada jumlah tertentu tentang kekayaan yang dapat dijadikan sebagai suatu tolak ukur. Dari sinilah didapatkan ukuran kekayaan yang tinggi atau banyak, ukuran sedang cukup dan ukuran sedikit atau miskin. Kekayaan sebagai ukuran dalam bentuk stratifikasi sosial walau ada kuantitas tepai pada dasarnya adalah relative untuk suatu masyarakat. 4. Ukuran Kekuasaan Ukuran kekusaan yang didefenisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku seseorang maupun kelompok agar berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memiliki kekuasaan menjadi tolak ukur dari strartifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Ukuran kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas sempitnya pengaruh yang dimiliki seseorang dalam masyarakat. Semakin luas tinggi pengaruh yang dimiliki oleh seseorang semakin tinggi stratifikasi yang dimilikinya dan semakin rendah dan sempit dan bahkan tidak memiliki pengaruh keberadaan sesorang dalam masyarakat semakin rendah stratifikasi sosial nya. Kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat formal saja seperti pejabat pemerintah setempat maupun pejabat pemerintah yang lain. Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan ketaatan bagi seseorang untuk mengikuti apa yang menjadi sasaran atau perntahnya. Seorang Kyai memberikan saran kepada seseoran untuk menghentikan minum miras atau merokok dan yang bersangkutan langsung menghentikan tndakannya, maka kyai tersebut memeiliki kekeuasaan yang tinggi atau kuat; demikian halnya orang lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya, maka orang tersebut memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat. 5. Ukuran Kehormatan Kehormatan yang diperoleh oleh sesorang bukanlah dari dirinya, melainkan penilaian yang datang dari orang lain. Apakah seseorang dihormati atau tidak oleh orang lain sangat tergantung pada orang lain, bukan bersumber pada dirinya. Penghormatan bagi seseorang bukan muncul sesaat, melainkan melalui proses waktu dan evaluasi penghormatan dengan demikian bersifat obyektif bukan bersifat subyektif. Penghargaan bagi sessorang dalm wujud penghormatan dapat bersumber pada kepribadian seseorang tersebut karena kejujuran, ketaqwaan beragama, berani karena benar rendah hati maupun perilaku yang di tunjuk dalam setiap harinya seperti suka menolong, memberikan nasehat kepada kepada yang membutuhkan dan sebagainya yang setiap saat dievalusi oleh anggota masyarakat yang lain. Penghormatan tersebut diwujudkan orang lain akan memberikan hormat lebih dahulu atau mengulurkan tangan berjabat tangan menempatkan duduk dalam suatu pesta atau pertemuan di depan sendirin atau di tempat yang pas dengan kehormatannya. 6. Ukuran Ilmu Pengetahuan Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu Pertama, ukuran formal yaitu ijasah sebagai ukurannya semakin tingi gelar atau ijasah yang dimiliki semakin tinggi strata sosial nya dan semakin rendah yang dimiliki, maka semakin rendah pula strata sosial nya. Kedua, ukuran non-formal adalah profesional atau keahlian yang mereka miliki melalui ketrampilan yang dia lakukan. Mereka memperoleh keahlian tersebut tidak melalui jalur pendidikan formal. Pakar pengobatan alternatif mereka memperoleh keahliannya bukan belajar difakultas kedokteran, melainkan diperoleh dari luar pendidikan formal yang ada. Dalam teori sosiologi, unsur-unsur terjadinya sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah 7. Kedudukan Status Kedudukan status sering kali juga dibedakan dengan kedudukan sosial sosial status. Kedudukan adalahsebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial ,sehungan dengan orang lain dalam kelompok tersebutatau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi. 8. Peran Rore Selain kedudukan dan peran disamping unsur pokok dalam sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi sistem sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peran menunjukan aspek dinamis dari status, hal ini merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya,hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompokn yang berbeda, tapi kedudukan sosial tersebut mempengaruhikedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok sosial , maka seseorang juga mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang yang biasanya ikut dalam berbagai kelompok sosial. Kedudukan, apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, hanyalah merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Namun, karena hak dan kewajiban itu hanya dapat terlaksanakan melalui perantara individu, maka sulit untuk memisahkannya secara masyarakat sering kali kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu a Ascribed Status Status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Misalnya, kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula, seorang anak dari kasta brahmana juga akan memperoleh kedudukan yang demikian. Kebanyakan ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan sosial yang tertutup, seperti sistem pelapisan perdasarkan perbedaan ras. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dalam masyrakat dengan sistem pelapisan sosial terbuka tidak ditemui adanya ascribed status. Kita lihat misalnya kedudukan laki-laki dalam suatu keluarga akan berbeda dengan kedudukan isteri dan anak-anaknya, karena pada umumnya laki-laki ayah akan menjadi kepala keluarga. b Achieved Status Yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena ini bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan dari masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang bisa menjadi dokter, hakim, guru, dan sebagainya, asalkan memnuh persyaratan yang telah ditentukan. Dengan demikian tergantung pada masing-masing orang apakah sanggup dan mampuh memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau tidak. Disamping kedua kedudukan tersebut di atas, sering kali dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned-status,kedudukan yang diberikan. Assigned-status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat. Di atas telah dijelaskan bahwa seseorang dalam masyarakat dapat memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu kedudukan yang selalu menonjol itulah yang merupakan kedudukan yang utama. Dengan melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan dapat digolongkan ke dalam strata atau lapisan tertentu dalam masyarakat. D. Dampak Perbedaan Status Sosial Ekonomi Masyarakat Sebagian pakar menyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja,dan sistem pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya, lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, sifat, keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat, mungkin pada batas-batas tertentu berdasarkan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata dan sebagainya. Kekuasaan dan wewenang itu merupakan sesuatu unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang mempunyai sifat lain daripada uang, tanah, dan benda ekonomis lainya. Hal ini disebabkan uang, tanah, dan jenisnya dapat dibagi secara bebas dalam masyarakat tanpa merusak keutuhan masyarakat. Namun demikian, apabila suatu masyarakat hendak hidup teratur dan keutuhan masyarakat tetap terjaga maka kekuasaan dan wewenang harus pula dibagi-bagikan secara taratur, sehingga setiap orang akan jelas dimana kekuasaan dan wewenangnya dalam organisasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara teoritis diakui bahwa manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi dalam kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial tidak demikian halnya. Dengan demikian pembedaan ke dalam lapisan-lapisan merupakan gejala universal serta merupakan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Status sosial adalah merupakan kedudukan, peranan, dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakatnya. Status itu dikategorikan dalam dua bagian status karena seseorang mewarisi dari keturunannya ascribed status, dan status sosial yang digenggam sebab prestasi yang diperoleh achieved status. Kelompok ascribed status bertali temali dengan keturunan, kelahiran dan warisan yang mereka peroleh dari orang tua atau kakek buyut, dan tidak dibutuhkan jerih lelah untuk masuk dalam kategori ini. Dalam masyarakat sederhana, karakteristik ascribed status dipandang sebagai suksesi yang tidak pernah diperdebatkan. Sebaliknya, orang yang dikelompokkan dalam kategori achieved status adalah orang yang harus berjerih lelah, untuk menghasilkan sesuatu yang diakui oleh masyarakat luas. Tidak dikenal paham suksesi, yang berlaku adalah usaha dan prestasi. Fenomena dan realitas sosial serupa mencolok dalam masyarakat maju, di mana kontestasi merupakan syarat menuju puncak prestasi. Kedua model status sosial itu terpatri dalam benak masyarakat, diakui, diupayakan – kendati pun dicemooh – tetapi telah berlangsung berabad-abad dalam peradaban manusia. Untuk memahami eksistensi dua status sosial itu, kita mudah mencari, apakah kontribusi mereka bagi masyarakat dan lingkungan sosial pada zamannya. Status sosial atau yang sering disebut stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise gengsi yang merupakan akibat dari adanya posisi sosial rangking sosial seseorang di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat. Adanya perbedaan status sosial dalam hal ini menyangkut perbedaan perekonomian, dapat menimbulkan adanya kecemburuan sosial, kesejahteraan yang tidak merata, bahkan bisa menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum. Perbedaan status sosial ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama yang berada pada lapisan bawah. E. Konflik Status Sosial Adanya perbedaan status sosial ekonomi dapat menimbulkan konflik sosial tersendiri bagi masyarakat. Konflik sosial berarti pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras, jenis kelamin, kelompok, status ekonomi, status sosial , bahasa, agama, dan keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik dalam masyarakat homogen maupun dalam masyarakat majemuk. Konflik sosial dapat terjadi karena adanya perbedaan yang disebabkan adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Konflik sosial merupakan hal yang sering terjadi mustahil dihilangkan sama sekali. Yang harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum yang berarti melalui jalan damai. Macam-macam Konflik Status 1. Konflik Status bersifat Individual Konflik status yang dirasakan seseorang dalam batinnya sendiri. Contoh a Seorang wanita harus memilih sebagai wanita karier atau ibu rumah tangga b Seorang anak harus memilih meneruskan kuliah atau bekerja . 2. Konflik Status Antar Individu Konflik status yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena status yang dimilikinya. Contoh a Perebutan warisan antara dua anak dalam keluarga b Tono beramtem dengan Tomi gara-gara sepeda motor yang dipinjamnya dari kakak mereka. F. Sumber Konflik Sosial Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut 1 perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, 2 langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan 3 persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul Johnson & Johnson, 1991. Menurut Anoraga dalam Saputro, 2003 suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif. 1. Perbedaan pendapat Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya. 2. Salah paham Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain. 3. Ada pihak yang dirugikan Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci. 4. Perasaan sensitif Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan. Baron & Byrne dalam Kusnarwatiningsih, 2007 mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo 2001 juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain a ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik b hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik c sifat masalah yang menimbulkan konflik d lingkungan sosial tempat konflik terjadi e kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik f strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik g konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain h tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula antecedent conditions yang menjadi penyebab konflik, yaitu a persaingan terhadap sumber-sumber competition for resources b ketergantungan pekerjaan task interdependence c kekaburan bidang tugas jurisdictional ambiguity d problem status status problem e rintangan komunikasi communication barriers f sifat-sifat individu individual traits Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988. Schmuck dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999 mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu a adanya perbedaan fungsi dalam organisasi b adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem c adanya perbedaan peranan d adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi. Sedangkan Handoko 1998 menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut. a Komunikasi salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten. b Struktur pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka. c Pribadi ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi. Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara 2001 bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah 1 koordinasi kerja yang tidak dilakukan, 2 ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, 3 tugas yang tidak jelas tidak ada diskripsi jabatan, 4 perbedaan dalam orientasi kerja, 5 perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, 6 perbedaan persepsi, 7 sistem kompetensi intensif reward, dan 8 strategi permotivasian yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada. a Faktor Penyebab Konflik 1 Perbedaan individu Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2 Perbedaan latar belakang kebudayaan Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. 4 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Makalah Konflik Sosial Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. G. Bentuk Konflik Sosial Sasse 1981 mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin dalam Farida, 1996 menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo 1999 mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu 1. Konflik tujuan Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif. 2. Konflik peranan Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama. 3. Konflik nilai Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi. 4. Konflik kebijakan Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya. Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila 1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis. 2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan. 3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko 1984 membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu 1 konflik dari dalam individu, 2 konflik antar individu dalam organisasi yang sama, 3 konflik antar individu dalam kelompok, 4 konflik antara kelompok dalam organisasi, 5 konflik antar organisasi. Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa 2003 membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu 1 konflik intrapersonal, 2 konflik interpersonal, 3 konflik intragroup, 4 konflik intergroup, 5 konflik intraorganisasi, dan 6 konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf 1986, konflik dibedakan menjadi 4 macam 1 konflik antara atau dalam peran sosial intrapribadi, misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi konflik peran role; 2 konflik antara kelompok-kelompok sosial antar keluarga, antar gank; 3 konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir polisi melawan massa; dan 4 konflik antar satuan nasional perang saudara. Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut 1 meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok in-group yang mengalami konflik dengan kelompok lain; 2 keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; 3 perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya; 4 kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan 5 dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut. 1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik. 2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik. 3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut. 4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik. H. Solusi Pemecahan Konflik Sosial Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi 1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain. 2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan. 3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. 4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Kestabilan N Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain. 5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin. Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik sosial adalah 1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya. 2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat. 3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi. 4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas. 5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. 6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak. I. Konflik Ekonomi dan Solusi Konflik Ekonomi 1. Masalah Kemiskinan Pada akhir tahun 1996 jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Namun, sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin pada akhir tahun itu melonjak menjadi sebesar 47 juta jiwa atau sekitar 23,5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Pada akhir tahun 2000, jumlah penduduk miskin turun sedikit menjadi sebesar 37,3 juta jiwa atau sekitar 19% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari segi distribusi pendapatan nasional, penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebagian besar kekayaan banyak dimiliki kelompok berpenghasilan besar atau kelompok kaya Indonesia. Upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT Inpres Desa Tertinggal, KUK Kredit Usaha Kecil, KMKP Kredit Modal Kerja Permanen PKT Program Kawasan Terpadu, GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah Keterbelakangan Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya melalui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif. 5. Krisis Nilai Tukar Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara Asia pada awal tahun 1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung pada pinjaman luar negeri sektor swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan devisa yang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas harus disikapi. Adanya plularitas inilah yang mengakibatkan adanya status sosial ekonomi. Faktor status sosial ekonimi diantaranya ialah; kekayaan dan penghasilan, pekerjaan, pendidikan, ukuran kehormatan, ukuran kekuasaan, ukuran ilmu pengetahuan, kedudukan dan peran. Perbedaan status sosial akan dapat berdampak pada konflik sosial diantara penyebabnya antara lain; perbedaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan dan perasaan yang sensitif. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo 1999 mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu Konflik tujuan. Konflik peranan, Konflik nilai, Konflik kebijakan. Untuk mengatasi atau solusi dari konflik status sosial ekonomi di masyarakat permasalahan ekonomi adalah sebuah topik dari banyak topik dalam mempelajari ilmu ekonomi. Dan merupakan topik yang paling banyak dibicarakan baik itu di masyarakat maupun media. Di Indonesia terdapat banyak sekali permasalahan ekonomi. Pemerintah selalu berupaya untuk menghilangkan masalah-masalah ekonomi di negeri kita ini, meskipun belum semuanya dapat terlaksana dan terealisasikan dengan baik. Sebagai warga Negara kita dapat berpartisipasi untuk mengatasi masalah ini. Misalnya dengan cara belajar dengan baik dan membayar pajak B. Saran Dari beberapa konflik yang ada kita bisa menyarankan untuk para orang – orang bersangkutan sebaiknya dari permasalahan ini kita mencari jalan keluar agar masalah yang ada segera untuk menyelesaikan masalah yang ada di sekitar dan di Indonesia. Selain itu, kita bisa mengambil makna dari permasalahan yang ada disekitar. DAFTAR PUSTAKA W. Hefner, Syam, Multikulturalisme Naim, Ngaimin, dkk. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta AR-RUZZ media group. Sakai, Minako. Konflik sekitar Devolusi Kekuasaan Ekonomi dan Politik Suatu Pengantar, The University of New South Wales Demikian Makalah Konflik Sosial ini, semoga bermanfaat..
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Konflik Sebelum lebih jauh berbicara tentang konflik ada baiknya diketahui dulu arti konflik. Beberapa ahli memberikan definisi tentang konflik dari sudut pandang masing-masing. Berikut ini adalah pendapat mereka tentang pengertian konflik. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis 1977, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. 1. Menurut Gibson, et al 1997, hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. 2. Menurut Robbin 1996, keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. 3. Muchlas 1999, Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. 4. Menurut Minnery 1985, Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. 5. Menurut Berstein 1965, Menurut Berstein, konflik merupakan suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini mempunyai potensi yang memberikan pengaruh positif dan negatif dalam interaksi manusia. 6. Menurut Pace dan Faules 1994, Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. 7. Robert Lawang, Menurut Lawang, konflik adalah perjuangan memperoleh status, nilai, kekuasaan, di mana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya. 8. Ariyono Suyono, Menurut Ariyono Suyono, konflik adalah proses atau keadaan di mana dua pihak berusaha menggagalkan tercapainya tujuan masing-masing disebabkan adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntutan dari masing-masing pihak. 9. James W. Vander Zanden, Menurut Zanden dalam bukunya Sociology, konflik diartikan sebagai suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status atau wilayah tempat yang saling berhadapan, bertujuan untuk menetralkan, merugikan ataupun menyisihkan lawan mereka. 10. Soerjono Soekanto, Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial di mana orang per orangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik berlangsung dengan melibatkan orangorang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Dalam bentuk ekstrimnya, konflik dilangsungkan tidak hanya sekadar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Konflik juga bertujuan sampai tahap pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya. B. Teori-teori Penyebab konflik Ada beberapa teori penyebab konflik berikut ini akan dipaparkan beberapa teori mengenai penyebab konflik. a. Teori Hubungan Masyarakat Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. b. Teori Negosiasi Prinsip Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. c. Teori Kebutuhan Manusia Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. d. Teori Identitas Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. e. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. f. Teori Transformasi Konflik Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. C. Faktor-faktor Penyebab Konflik 1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. 4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. D. Akibat Konflik Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut a. meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok ingroup yang mengalami konflik dengan kelompok lain. b. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai. c. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll. d. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia. e. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. E. Solusi Penyelesaian Konflik Berikut ini solusi yang dapat ditawarkan untuk meminimalisir terjadinya konflk a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik. b. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. d. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. e. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. B. SARAN Penyebab dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik sangat beragam oleh karena itu diperlukan benteng toleransi yang sangat besar untuk meminimalisir perbedaan yang ada sehingga dapat mengurangi terjadinya konflik tersebut. DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu melakukan interaksi dan kontak sosial dengan orang lain. Dalam kelompok individu, manusia ini saling berhubungan sehingga terbentuklah kelompok yang besar yang disebut masyarakat. Menurut Soekanto 2003 manusia dicirikan sebagai orang-orang yang hidup bersama, bercampur dalam waktu yang lama dalam suatu kesatuan, dan merupakan suatu sistem hidup pertama. Masyarakat desa sebagai bagian dari suatu struktur sosial memiliki karakteristik dalam aspek-aspek kehidupan, seperti memiliki solidaritas yang tinggi, menjunjung tinggi kerja sama, hidup sederhana, serta memiliki pranata sosial yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama secara mekanistik. Desa Tugujaya merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamtan Cigombong Kabupaten Bogor dengan luas wilayah ± Ha, di atas permukaan laut sekitar 500-700 Mdpl, dan tinggi curah hujan sebesar 250-550 mm/t, yang terdiri dari 7 dusun, 11 Rukun Warga dan 44 Rukun Tetangga dengan suhu udara berkisar 25-27o C. Batas wilayah Desa Tugujaya meliputi sebelah utara berbatasan dengan Desa Cisalada dan Pasirjaya, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cigombong, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutajaya Kec. Cicurug Kab. Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Salak. Penduduk Desa Tugujaya sebanyak Jiwa dan sebagian besar merupakan angkatan kerja potensi yaitu sebanyak 36%. Sebagian besar angkatan kerja terserap oleh dunia pertanian dan angkatan kerja muda potensial memilih masuk sebagai karyawan di dunia industri. Kondisi wilayah Desa Tugujaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi di wilayah selatan sebagai kawasan berikat industri menjadikan daya tarik tersendiri bagi kaum muda, sehingga mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik daripada mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. Berdasarkan kebijaksanan pertanahan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU No. 5 tahun 1960 UUPA, serta lebih lanjut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang diamanatkan bahwa penataan ruang diselenggarakan berasaskan kepada pemanfaatan ruang bagi semua keperluan secara terpadu, berkelanjutan, keterbukaan, kesamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Dalam hal ini lahan di Desa Tugu Jaya banyak yang dikonversikan dari lahan pertanian menjadi vila-vila oleh investor yang berasal dari kota-kota besar seperti Jakarta. Konversi lahan pertanian tersebut mengakibatkan hilangnya mata pencaharian utama masyarakat sebagai petani dan keterbatasan akses terhadap lahan. Masyarakat lokal terpaksa mencari pekerjaan lain seperti buruh tani, penjaga vila, dan kuli batako. Adanya kesenjangan antar kelas sosial dalam struktur sosial masyarakat, distribusi akses baik dari lahan ataupun masalah agraria secara tidak merata, serta perbedaan-perbedaan kepentingan dan kebutuhan antar pribadi individu dapat menjadi potensi konflik sosial di wilayah tersebut. Potensi konflik yang muncul pada masyarakat Tugu Jaya berhubungan dengan konversi lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi villa, hingga dapat memicu munculnya konflik terbuka manifest. Peran elit desa, seperti Kepala Desa dan stakeholder lainnya dalam membuat kebijakan untuk meredam potensi konflik yang ada di antara masyarakat Desa Tugu Jaya menjadi hal penting untuk dilihat dalam penelitian ini. Konversi lahan pertanian menjadi villa yang mengakibatkan potensi konflik dapat menimbulkan suatu perubahan sosial, baik pada relasi sosial, struktur sosial, ataupun menimbulkan perubahan fenomena-fenomena sosial di Desa Tugu Jaya. Selain itu, proses perkembangan zaman dari waktu ke waktu yang dialami oleh masyarakat di Desa Tugu Jaya menimbulkan adanya suatu perubahan yang dapat dianalisis dengan menggunakan komponen-komponen perubahan sosial, yang mencakup identitas, level tingkat, lama, arah, besaran, serta kecepatan Vago 1989. Untuk lebih spesifik lagi, maka penelitian ini ingin menganalisis potensi konflik yang ada di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial. Fokus dari penelitian ini adalah potensi akibat adanya konversi lahan pertanian mengingat lokasi Desa Tugu Jaya yang banyak terdapat lahan pertanian yang dialihfungsikan sebagai villa. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga buah rumusan masalah yang diambil dalam penelitian mengenai analisis potensi konflik sosial di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Masyarakat Desa Tugu Jaya memiliki stuktur sosial tertentu yang digunakan untuk aktivitas hidup mereka sehari-hari. Sektor pertanian yang mendominasi membuat sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, sehingga lahan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap individu. Namun, adanya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk pembangunan villa menyebabkan makin sempitnya lahan yang dapat digarap, serta menjadikan masyarakat sekitar beralih mata pencaharian. Dalam bermasyarakat, hubungan yang terjalin antar struktur sosial ataupun antar individu tidak selalu baik, namun terkadang adanya perbedaan dan pertentangan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana bentuk konversi lahan pertanian yang terjadi pada masyarakat Desa Tugu Jaya? 2. Apa saja yang menjadi potensi konflik sosial dalam masyarakat Desa Tugu Jaya? 3. Bagaimana pengaruh potensi konflik sosial tersebut terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Desa Tugu Jaya? Tujuan Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini meliputi 1. Menganalisis bentuk-bentuk dan mekanisme konversi lahan yang terjadi pada masyarakat Desa Tugu Jaya; 2. Mengidentifikasi potensi konflik sosial yang terdapat dalam masyarakat Desa Tugu Jaya; 3. Menganalisis pengaruh potensi konflik sosial tersebut terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Desa Tugu Jaya Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian yang dilakukan dengan cara turun lapang mata kuliah Perubahan Sosial dan Sosiologi Pedesaan diaksanakan selama tiga hari, yaitu dimulai dari hari Jumat, 20 Desember 2013 hingga hari Minggu, 22 Desember 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Tuguj Jaya merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor dengan luas wilayah ± Ha, di atas permukaan laut sekitar 500-700 Mdpl, dan tinggi curah hujan sebesar 250-550 mm/t, yang terdiri dari 7 dusun, 11 Rukun Warga dan 44 Rukun Tetangga dengan suhu udara berkisar 25-270. Jumlah penduduk Desa Tugujaya menurut data terbaru desa tercatat sebanyak jiwa yang terdiri dari KK dan rumah. Sebagian besar masyarakat di Desa Tugu Jaya merupakan warga asli yang menetap, dengan corak sosial budaya relatif masih homogen. Sebanyak masyarakat Desa Tugu Jaya bermataencaharian sebagai petani dengan 1420 merupakan pemilik tanah, sebagai petani penggarap, dan 387 orang sebagai buruh tani. sementara itu, sebanyak orang bermatapencaharian sebagai buruh industri, pedagang sebanyak 265 orang, sektor jasa 417 orang, dan pegawai negeri sipil hanya 66 orang. Hampir seluruh masyarakat di Desa Tugu Jaya memeluk agama islam. Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa Tugu Jaya masih tergolong rendah, yaitu sebanyak orang hanya tamat SD/sederajat. Fasilitas umum yang terdapat di Desa Tugu Jaya meliputi mesjid, sekolah, puskesmas, dan lapangan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan secara kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan beberapa pendekatan untuk mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan terkait konflik yang terjadi di masyarakat Desa Tugu Jaya. Pendekatan kuantitatif berupa pengumpulan data-data sekunder yang diperoleh dari buku, disertasi maupun data dari kantor Desa Tugu Jaya. Selain itu dilakukan juga pengamatan langsung untuk mengetahui keadaan fisik desa maupun sosial masyarakatnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada masyarakat setempat dan stakeholder desa dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara tersebut didapat data primer dan sekunder. Data primer meliputi data terkait keadaan desa dan masyarakat dengan pengamatan secara langsung. Sedangkan untuk data sekunder adalah data tambahan yang mendukung dan terkait. Data-data tersebut kemudian dianalisis untuk mendapat kesimpulan berupa jawaban dari perumusan masalah. Pembahasan I. Konversi Lahan Pertanian Desa Tugu Jaya Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut Astuti 2011. Konversi Lahan menurut Sihaloho 2004 adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke lahan pertanian. Menurut Sihaloho 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu 1. Faktor pada aras makro meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi. 2. Faktor pada aras mikro meliputi pola nafkah rumah tangga struktur ekonomi rumah tangga, kesejahteraan rumah tangga orientasi nilai ekonomi rumah tangga, strategi bertahan hidup rumah tangga tindakan ekonomi rumah tangga. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Desa Tugu Jaya, sebelum adanya konversi lahan, masyarakat sekitar awalnya bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat menggantungkan hidupnya dengan cara memanfaatkan lahan untuk di olah dan hasilnya untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual ke pasar. Lahan pertanian biasanya ditanami dengan tanaman padi maupun palawija berupa singkong dan umbi-umbian sebagai tanaman pokok Desa Tugu Jaya. Namun, ternyata hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Harga palawija dipasaran dihargai dengan harga yang cukup murah. Selain itu, hasil pertanian tidak menentu masa panennya, dengan waktu yang cukup lama petani baru mendapatkan penghasilan atas apa yang telah ditanam, tetapi kadang kala waktu yang dicurahkan dalam sektor pertanian tidak sebanding dengan berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Dengan tuntutan hidup dari zaman ke zaman yang terus meningkat namun pendapatan yang dihasilkan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Maka mereka memikirkan cara lain, bagaimana tetap bisa bertahan hidup dengan mendapatkan uang dalam waktu yang cepat dan tetap memiliki pekerjaan yang dapat mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Pada sekitar tahun 1994, investor mulai berdatangan ke Desa Tugu Jaya, mereka tertarik untuk membeli lahan yang ada di Desa Tugu Jaya, para investor pun memberikan tawaran kepada petani yang disana berupa harga lahan yang cukup menggiurkan. Alasan investor tertarik untuk mengembangkan Desa Tugu Jaya sebagai lahan bisnis didasari karena letak desa yang berada di dataran tinggi sehingga memiliki cuaca yang sejuk. Hal ini akhirnya menjadi daya pikat masyarakat kota yang sehari-harinya hidup di tengah hiruk pikuk kota yang menjenuhkan. Akhirnya karena terdesak oleh faktor ekonomi, petani menjual lahan pertaniannya kepada investor karena tertarik dengan harga yang dijanjikan. Setelah lahan tersebut berpindah tangan ke tangan investor baik asing maupun ivestor dari kota-kota besar, lahan tersebut kemudian diubah menjadi vila-vila. Petani yang menjual lahannya akhirnya beralih profesi menjadi penjaga vila. Namun siring dengan kehadiran vila yang semakin banyak tersebut menimbulkan polemik di Desa Tugu Jaya. Vila-vila seringkali disalahgunakan oleh sebagian pihak sebagai tempat prostitusi. Selain itu, hal ini berakibat pada lahan pertanian yang berkurang dengan digantikannya oleh pembangunan vila-vila. Para investor membeli lahan tetapi lahan tersebut terbengkalai dan tidak terurus. Lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk digarap namun dengan demikian masyarakat kehilangan hak untuk dapat memanfaatkan maupun mengakses lahan tersebut. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani kemudian kehilangan lahannya bahkan kesulitan untuk mengakses lahan tersebut. Hal ini berdampak pada beralihnya mata pencaharian masyarakat yang dahulu menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, seperti beralih menjadi buruh ataupun kuli batako. Masyarakat merasa takut untuk mengolah lahan meskipun lahan tersebt terbengkalai. Dari kasus konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi vila-vila maka dapat dianalisis bahwa faktor yang mempengaruhi konversi lahan adalah faktor pada aras mikro. Masyarakat menjual tanahnya karena adanya pengaruh pola nafkah rumah tangga. Himpitan masalah ekonomi yang membuat masyarakat membutuhkan lebih banyak uang membuat mereka menjual tanahnya. Tujuan masyarakat hanyalah untuk kesejahteraan rumah tangga dan sebagai tindakan untuk bertahan hidup, meskipun pada akhirnya masyarakat pun mengalami kerugian setelah vila-vila mulai banyak bermunculan di Desa Tugu Jaya. II. Potensi Konflik Sosial dalam Masyarakat Tugu Jaya Dewasa ini, masyarakat di dunia khususnya Indonesia sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang tak jarang menimbulkan perselisihan. Permasalahan-permasalahan ini dikenal oleh masyarakat dengan istilah konflik. Konflik berasal dari kata kerja configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Fuad dan Maskahan 2000 dalam Musdalifah tanpa tahun menyatakan bahwa menurut wujudnya, konflik dapat berwujud tertutup laten, mencuat emerging, dan terbuka manifest, juga dapat meningkat eskalasi. Sedangkan menurut level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik, yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik yang terjadi di masyarakat secara umum disebabkan oleh adanya perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, serta perubahan sosial Soekanto 2003. Konflik di desa berasal dari berbagai sumber diantaranya, lahan dan hak atas sumber daya alam, perebutan sumber nafkah, persoalan keluarga dan perebutan jodoh, pertikaian antar etnis, perbedaan agama, serta persoalan politik dan antar elit di desa. Selain sumber-sumber yang telah disebutkan, di desa juga terdapat potensi konflik diantaranya, konflik dan potensi konflik agraria, migrasi penduduk pedesaan, hubungan antar suku bangsa, serta kebijakan desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Desa Tugu Jaya sejak Jumat, 20 Desember 2013 hingga Minggu, 22 Desember 2013, konflik yang mencuat nyata ke permukaan adalah konflik mengenai lahan dan hak atas sumberdaya alam. Dalam kasus ini terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi villa-villa modern. Pada awalnya lahan tersebut milik masyarakat lokal yang dijadikan sumber nafkah utama, akan tetapi rendahnya penghasilan masyarakat yang dihadapkan dengan meningkatnya harga-harga kebutuhan membuat masyarakat menjual lahan mereka dengan harga miring, lahan yang berpindah kepemilikan tersebut yang kini dijadikan sebagai villa-villa di Desa Tugu Jaya. Keberadaan villa tersebut semakin lama mengusik kenyamanan warga, berdasarkan keterangan Bapak Kepala Desa Tugu Jaya, Bapak SS. Villa-villa tersebut tak jarang beroperasi di luar jam normal berkunjung yaitu jam dini hari, pengunjung yang datang ke villa biasanya adalah pasangan muda yang belum memiliki ikatan perkawinan secara sah. Hal ini dikhawatirkan dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar dan menggeser nilai-nilai budaya lokal. Tak hanya itu, permasalahan konversi lahan juga membuat banyak petani kehilangan pekerjaannya. Berdasarkan informasi yang didapatkan melalui wawancara dengan salah seorang petani, beliau memaparkan bahwa petani serabutan yang mencoba mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan kosong yang tidak terurus milik pihak asing dituduh melakukan perusakan lahan dan dilaporkan ke pengadilan. Untung saja, banyaknya pembelaan dari warga membuat kasus ini dapat diredam secara kekeluargaan. Lebih lanjut dijelaskan oleh beberapa responden yang bernapa Bapak S dan Bapak DH bahwa para masyarakat merasa tidak setuju adanya konversi lahan menjadi vila yang makin marak terjadi karena pada awalnya lahan tersebut merupakan lahan milik negara yang bebas untuk digarap oleh para petani lokal. Bapak S menjelaskan saat ini saja dirinya sedang mengolah lahan tumpang sari yang lahannya dimiliki oleh orang Jakarta. Beliau juga mengatakan bahwa pendapatan yang di dapat setiap harinya hanya berkisar 10-20 ribu rupiah dan hanya mencukupi untuk makan satu keluarga. Bapak DH sebagai koordinator petani gurem setempat menjelaskan bahwa saat ini permasalahan yang ada adalah antara petani dan pemilik lahan yang ada disana. Menurutnya petani seringkali ketakutan dalam menggarap lahan. Lahanpun sering lama terbengkalai sebelum dibangun menjadi sebuah vila, padahal seharusnya daripada lahan menganggurmlahan tersebut bisa diolah oleh masyarakat sekitar. Bapak DH juga memberikan informasi bahwa hasil tumpang sari petani di sekitar desa dijual ke pengusaha beras analog, namun hasil tersebut kurang bisa memenuhi kuota produksi karena minimnya produktifitas mereka semenjak lahan mulai dibeli dan dikonversi menjadi villa. Responden yang bernama Bapak R yang merupakan manajer operasional pabrik beras analog pun mengiyakan bahwa industri yang seharusnya dapat memberdayakan petani lokal tersebut belum berjalan secara maksimal karena produktivitas petani setempat yang masih belum memadai sehingga perusahaan harus mendapat pasokan bahan baku dari Jawa Tengah. Saat ini lahan negara yang dahulu bebas digarap sudah semakin berkurang karena mulai dibeli oleh pihak developer yang mengembangkan lahan tersebut untuk dijadikan villa. Namun ternyata berdasarkan keterangan dari responden yang merupakan ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat LPM Desa Tugu Jaya, Bapak I menjelaskan bahwa pihak pemerintah desa langsung berinteraksi dengan investor-investor yang hendak membeli lahan dan mendirikan villa. Beliaupun menceritakan bahwa lembaga LPM desa seringkali tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan desa, meskipun beliau sudah mengabdikan dirinya di Desa Tugu Jaya selama 20 tahun lamanya. Menurut keterangnya pula pihak desa kerap mengabaikan LPM desa karena pihak investor lebih menarik dan dapat meningkatkan potensi pariwisata yang ada di Desa Tugu Jaya, sehingga tidak menggubris mayoritas masyarakat yang menolak adanya konversi lahan tersebut. Konversi lahan dan kesenjangan hak atas sumber daya alam yang terjadi di Desa Tugu Jaya seperti yang telah dijelaskan di atas tersebut merupakan potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya. Hal ini karena contoh-contoh kasus yang dijelaskan oleh beberapa responden dapat menimbulkan konflik sosial, namun hingga saat ini konflik tersebut belum menimbulkan adanya gerakan oleh masyarakat untuk melawan karena masyarakat memiliki rasa takut, terbukti dari ketidakmampuan masyarakat desa beserta para stakeholder untuk menentang dan menutup villa-villa di sekitar desa. Potensi konflik yang terjadi berdasarkan keterangan responden juga sudah mulai mencuat ke permukaan yang dibuktikan dengan sudah pernah ada masyarakat yang diseret hingga ke pengadilan karena dituduh melakukan perusakan lahan yang sudah dibeli oleh investor. Dalam hal ini terdapat kesenjangan di antara struktur masyarakat Desa Tugu Jaya. III. Pengaruh Potensi Konflik Sosial Terhadap Perubahan Sosial yang Terjadi dalam Masyarakat Desa Tugu Jaya Potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya yaitu konflik mengenai lahan, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi villa-villa. Konflik koversi lahan ini menimbulkan pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sekitar. Sebelum adanya konversi lahan menjadi villa, masyarakat sekitar mengolah lahan pertanian, baik menjadi pemilik lahan maupun petani penggarap. Namun, setelah adanya villa akses atas lahan di Desa Tugu Jaya semakin berkurang. Masyarakat pun menjadi petani serabutan yang tidak jelas mengolah lahan siapa yang mereka garap. Kondisi ini menyebabkan pihak yang sudah membeli lahan tersebut membuat suatu larangan yang ditujukan kepada masyarakat sekitar untuk tidak mengolah lahan secara sembarangan. Bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Hal ini juga telah diungkapkan oleh Kepala Desa setempat tentang adanya sanksi pidana. Sansi pidana ini sudah pernah dialami sendiri oleh masyarakat seperti yang dijelaskan oleh salah satu responden yang bernama Bapak DH. Beliau mengatakan bahwa dahulu pernah ada yang melanggar praturan tersebut dengan mengolah lahan yang sudah beralih kepemilikan, sehingga sempat diproses hingga ke pengadilan, namun orang tersebut masih beruntung karena akhirnya dapat dibebaskan. Adanya larangan tersebut membuat masyarakat menjadi takut untuk menjadi petani serabutan. Masyarakat yang takut kemudian berganti profesi menjadi kuli batako. Dari kondisi yang terjadi di Desa Tugu Jaya tersebut, dapat dianalisis menggunakan enam komponen perubahan sosial yang diungkapkan oleh Steven Vago. Komponen yang pertama yaitu identitas. Komponen identitas yang berubah pada masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah pola relasi sosial di mana tadinya masyarakat hanya berhubungan dengan sesama masyarakat desa. Tetapi semenjak adanya konversi lahan pertanian menjadi vila, relasi berubah menjadi antara masyarakat dengan pemilik villa. Selain itu struktur sosial juga mengalami perubahan dimana peran pihak investor menjadi lebih dominan, bahkan peran lembaga desa seperti LPM tidak diberitahu oleh pemerintah desa mengenai pembangunan villa. Komponen yang kedua adalah tingkat level. Tingkat level perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya, yaitu di tingkat kelompok. Hal ini diikarenakan perubahan pada tingkat ini berdampak pada pola interaksi antar masyarakat dengan masyarakat menjadi masyarakat dengan pemilik villa. Komponen yang ketiga adalah lama perubahan. Perubahan yang berlangsung di Desa Tugu Jaya tergolong perubahan long term karena villa-villa tersebut sudah berdiri sejak tahun 1994 yang artinya perubahan sosial yang terjadi sudah cukup lama dan bertahan hingga saat ini, bahkan hingga pembangunan villa semakin banyak terjadi. Komponen selanjutnya yaitu arah. Arah perubahan yang terjadi yaitu secara linear. Perubahan sosial yang ada di Desa Tugu Jaya berlangsung secara maju dari waktu ke waktu yang dibuktikan dengan semakin banyaknya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk villa, sehingga menyebabkan perubahan pada masyarakat. Komponen kelima adalah kecepatan. Perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berdasarkan kecepatannya termasuk pada perubahan yang lambat karena perubahan yang terjadi tidak mengalami perkembangan yang cepat, permasalahan utama yang muncul hanya berkutat pada konversi lahan saja, yang menyebabkan masyarakat sulit mengakses lahan tersebut. Sedangkan komponen yang terakhir yaitu besaran. Perubahan yang terjadi termasuk dalam besaran incremental karena perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berlangsung sedikit demi sedikit namun teratur. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan villa yang makin lama makin banyak dari waktu ke waktu. Pada zaman dahulu villa-villa dibangun jauh dari pemukiman warga, namun seiring dengan berjalannya waktu villa-villa di sana dibangun semakin mendekati pemukiman warga. Konflik mengenai konversi lahan menjadi villa yang terjadi di sekitar Desa Tugu Jaya berdasarkan teori konflik termasuk ke dalam teori konflik kritis. Berdasarkan teori ini, Marx mengungkapkan bahwa konflik antar kelas disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sehingga menimbulkan tindakan bersama. Pada teori ini terdapat dua pihak, yaitu pihak pertama sebagai penindas dan pihak kedua sebagai tertindas. Potensi konflik di Desa Tugu Jaya yang disebabkan karena konversi lahan pertanian terjadi di antara kelas sosial yang terdapat di struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesenjangan antara kedua kelas tersebut dalam hal penguasaan lahan. Pihak elit desa yang mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan cenderung lebih berpihak kepada investor yang membeli lahan-lahan desa untuk dijadikan sebagai villa daripada melindungi masyarakat setempat dari kurangnya lahan yang dapat diolah. Meskipun dianalisis menggunakan teori konflik kritis, namun fenomena sosial yang terdapat di Desa Tugu Jaya masih berupa potensi konflik karena masyarakat di desa tersebut belum melakukan gerakan untuk melawan secara langsung untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kesimpulan Dari penjelasan dan uraian pembahasan di atas dapat kami rumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut • Bentuk konversi lahan yang ada di Desa Tugu Jaya yaitu adanya perubahan alih fungsi lahan yang semula lahan pertanian menjadi vila-vila. • Potensi konflik sosial dalam masyarakat Desa Tugu Jaya, konflik yang mencuat nyata ke permukaan adalah konflik mengenai lahan dan hak atas sumberdaya alam. Dalam kasus ini terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi villa-villa modern. Keberadaan villa mengusik kenyamanan warga, Villa-villa tersebut tak jarang beroperasi di luar jam normal berkunjung. Tak hanya itu, permasalahan konversi lahan juga membuat banyak petani kehilangan pekerjaannya. Konflik mengenai lahan dan hak atas sumber daya alam yang terjadi di Desa Tugu Jaya masih merupakan potensi konflik karena meskipun potensi konflik tersebut sudah mulai mencuat ke permukaan yang dibuktikan adanya masyarakat yang diproses hingga ke pengadilan, namun masyarakat tidak mampu dan tidak membuat gerakan sosial sebagai bentuk perlawanan. Bahkan, hingga saat ini villa-villa masih terus dibangun. • Potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya yaitu konflik mengenai lahan, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi villa-villa. Konflik koversi lahan ini menimbulkan pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sekitar. Dengan dianalisis melalui enam komponen perubahan sosial oleh Steven Vago , pada komponen identitas yang berubah pada masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah pola relasi sosial antar sesama masyrakat dan perubahan struktur. Kedua yaitu tingkat level termasuk di tingkat kelompok, pola interaksi antar masyarakat dengan masyarakat menjadi masyarakat dengan pemilik villa. Ketiga adalah lama perubahan tergolong perubahan long term karena villa-villa tersebut sudah berdiri sejak tahun 1994. Keempat adalah arah perubahan yang terjadi yaitu secara linear perubahan berlangsung secara maju dari waktu ke waktu yang dibuktikan sengan semakin banyaknya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk villa. Komponen kelima adalah kecepatan termasuk pada perubahan yang lambat karena perubahan yang terjadi tidak mengalami perkembangan yang cepat. Komponen yang terakhir yaitu besaran, termasuk dalam besaran incremental karena perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berlangsung sedikit demi sedikit namun teratur. Konflik mengenai konversi lahan menjadi villa yang terjadi di sekitar Desa Tugu Jaya berdasarkan teori konflik termasuk ke dalam teori konflik kritis. Berdasarkan teori ini, Potensi konflik di Desa Tugu Jaya disebabkan karena konversi lahan pertanian terjadi di antara kelas sosial yang terdapat di struktur sosial masyarakat setempat. Saran • Kepala desa seharusnya lebih selektif dalam memberikan izin pembebasan lahan oleh pihak-pihak, baik swasta maupun individu yang akan menjadikan lahan tersebut untuk pembangunan vlla. • Sebelum menjual lahannya sebaiknya masyarakat memikirkan kembali dampak apa yang akan terjadi ketika mereka kehilangan lahannya, tidak hanya memikirkian keuntungan sesaat agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. • Baik pemilik lahan maupun penggarap harus sadar batas-batas lahan yang mereka miliki, sehingga tidak ada kesalahpahaman yang berujung pada proses hukum. Daftar Pustaka Astuti DI. 2011. Keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai ciliwung, Kabupaten Bogor. [skripsi]. [internet]. [diunduh pada 7 Oktober 2013]. dapat diunduh dari Bahan Ajar Mata Kuliah Sosioogi Pedesaan. Bogor [ID] IPB Press. Kiseng RA 2012. Bahan Ajar Mata Kuliah Perubahan Sosial. Bogor [ID] IPB Press. Musdalifah. [Tidak ada tahun]. Konflik Agraria dalam Relasi Antara Perusahaan Perkebunan dengan Masyarakat Kasus Konflik antara Petani dengan PT. PP Lonsum di Kabupaten Bulukumba. Jurnal disertasi. [internet]. Diunduh dari 1320 12 Desember 2013 Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana. Bogor IPB. Soekanto S. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID] Raja Grafindo Persada.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Oleh dunia internasional, Indonesia dikenal dengan negara agraris karena memiliki potensi sumber daya pertanian berupa lahan yang luas dan komoditas yang beragam serta melimpah. Selain itu juga sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja pada bidang pertanian. Namun itu dahulu, sekarang sudah mengalami perubahan, masyarakat satu persatu mulai meninggalkan dunia pertanian dan beralih ke sektor industri dan perkantoran. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan yang sudah tidak sama lagi, banyak lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi perumahan atau perkantoran. Selain itu profesi petani juga masih dipandang sebelah mata karena dianggap tidak menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan yang makin meningkat setiap harinya. Kemudian kurangnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian membuat pertanian Indonesia semakin menua, artinya sebagian besar petani adalah masyarakat yang sudah beranjak tua. Hal ini lah yang disebut sebagai perubahan sosial dalam masyarakat terutama di bidang sosial sendiri merupakan suatu pergeseran atau perkembangan dalam struktur sosial masyarakat yang terdiri dari perubahan maju atau mundur. Perubahan maju adalah perkembangan keadaan yang memberikan dampak yang baik serta kemajuan dalam masyarakat. Sedangkan perubahan mundur merupakan pergeseran keadaan yang memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat. Penyebab dari perubahan sosial ini karena faktor internal yaitu jumlah penduduk yang bertambah atau berkurang, adanya penemuan baru, serta terjadinya konflik dalam masyarakat. Selain itu juga ada faktor eskternal karena pengaruh lingkungan sekitar, kebudayaan lain, hingga ini teknologi semakin berkembang dengan cepat hingga dapat merubah hidup masyarakat, tidak terkecuali pada dunia pertanian. Dalam sektor pertanian dapat kita lihat berbagai perubahan sosial yang terjadi. Yang paling sering kita temui adalah mulai banyak digunakannya alat dan mesin pertanian seperti traktor, alat pemanen hasil pertanian, hingga alat pengolahan pasca panen. Jika kita lihat dari keefisiensiannya tentu alsintan ini sangat efisien karena dapat menghemat waktu dan tenaga. Namun, jika kita lihat dari sisi sosial maka memberikan dampak buruk karena jika sebelumnya untuk memanen padi misalnya, pasti para pengelola lahan akan mempekerjakan petani musiman. Banyak masyarakat yang bekerja sebagai petani musiman yang biasanya dipekerjakan ketika musim tanam atau musim panen, dan hal ini sangat biasa terjadi sejak dahulu. Dengan adanya teknologi berupa alsintan ini maka banyak petani musiman yang kehilangan pekerjaannya. Dahulu kegiatan pertanian selalu dilakukan di kebun atau sawah yang memiliki lahan luas. Kini lahan yang ada semakin sempit dan susah untuk melakukan budidaya. Namun, seiring berkembangnya zaman sekarang kita bisa melakukan budidaya walaupun hanya menggunakan lahan sempit. Saat ini sudah sangat terkenal yaitu budidaya menggunakan hidroponik atau teknik menanam tanpa menggunakan tanah dan berfokus pada pemberian air serta pemenuhan nutrisi yang diperlukan tanaman. Kegiatan budidaya hidroponik ini mudah untuk dilakukan, dapat diterapkan di pekarangan rumah yang sempit, serta mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Terutama ketika masa pandemi covid-19 yang memaksa kita untuk menghindari kontak langsung dengan orang lain dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Untuk mengisi waktu luang bisa dengan berbudidaya tanaman sayur bersama keluarga dengan menggunakan hidroponik di rumah masing-masing. Tentunya sayuran yang kita tanam sendiri pasti jauh lebih sehat dan higienis. Selain untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, hasil panen tersebut dapat dijual untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Baru-baru ini perkembangan sektor pertanian tidak lagi hanya seputar alsintan serta teknologi budidaya tanpa tanah. Sekarang pada era revolusi industri ada yang namanya smart farming atau pertanian pintar yang merupakan kegiatan pengelolaan pertanian dengan menggunakan alsintan dan penerapan teknologi digital dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan keuntungan secara berkelanjutan. Secara mudah nya ini merupakan kegiatan pertanian yang mulai dari pemantauan keadaan unsur hara tanah, pengolahan lahan, pemeliharaan tanaman seperti penyiraman dan pemupukan, dan lain sebagainya menggunakan internet. Jadi para petani lebih mudah untuk mengawasi serta memberikan penanganan pada tanamannya. Perubahan yang sangat besar ini belum banyak dilakukan oleh petani Indonesia karena kurangnya pengetahuan serta memerlukan dana yang besar, biasanya baru dilakukan oleh perusahaan. Dengan adanya smart farming ini petani menjadi bisa bekerja lebih efisien karena semua data terkait tanaman dapat diakses menggunakan internet. Hal ini membuat perubahan sosial pada masyarakat dimana sebelumnya pada suatu lahan bisa mempekerjakan 10 orang atau lebih, namun dengan adanya teknologi ini satu lahan cukup dipantau oleh 2-3 orang saja. Semakin banyak masyarakat yang terancam kehilangan contoh perubahan di sektor pertanian tersebut merupakan perubahan sosial yang memberikan dampak besar bagi masyarakat. Setiap perubahan dan perkembangan yang ada pasti memberikan dampak baik dan buruk tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Dampak baik yang ditimbulkan dari berkembangnya teknologi biasanya terkait dengan kegiatan pertanian yang menjadi jauh lebih mudah, efisien, dan modern. Namun disisi lain ada dampak buruk yang mengintai yaitu akan semakin renggangnya interaksi antar masyarakat, serta banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena tergantikan oleh mesin. Untuk mengatasi hal ini kita harus dapat senantiasa mengikuti perkembangan teknologi yang ada, namun tetap tidak boleh melupakan atau mentiadakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
makalah tentang konflik sosial masyarakat pertanian